Senin, 15 Maret 2010

(TOTALITERISME/OTORITERISME/SISTIM DEMOKRATIS)

Saat ini banyak orang bicara mengenai masalah demokrasi. Tapi sedikit yang mempraktekkannya. Banyak orang yang menganjurkan perubahan. Tapi kurang jelas, perubahan apa yang dimaksudkan. Perubahan yang sifatnya personal? Atau perubahan institutional? Yang jelas kebanyakan orang menginginkan perubahan institusional. Dengan kata lain, terbentuknya institusi atau lembaga-lembaga demokratis. Barangkali teori dibawah ini dapat sedikit membantu Anda, untuk menjawab pertanyaan lembaga mana sebenarnya yang kita maksud.Teori yang baik adalah teori yang dapat dibuktikan kebenarannya. Teori yang kurang akurat sering dilupakan orang. (Bahan diskusi intern API-Berlin)

A. Definisi
Teori demokrasi yang diilhami Rousseau mengarah ke pembentukan aspirasi rakyat homogen. Disamping itu, kemakmuran bersama dimasa depanpun sudah dipastikan sejak awal. Oleh karena itu, teori yang tak kenal konflik interes dimasyarakat ini juga dikenal sebagai teori identitas. Demokrasi dalam pengertian ini dipakai untuk membedakan identitas antara golongan pemerintah dan yang diperintah. Prinsip representasi atau perwakilan ditolak, sebab kehendak rakyat tak mungkin dapat diwakilkan. Demokrasi model ini tidak menolak warga negara aktif dibidang politik. Sehingga bahaya dari dalam mengancam setiap saat. Maka ide untuk membentuk sebuah Staatsvolk (bangsa senegara) dirasa perlu, terutama untuk menindas interes yang beraneka ragam yang ada dimasyarakat. Pola pikir (demokrasi) macam ini akhirnya mengarah kesistim kekuasaan totaliter. Itulah sebabnya kenapa ada istilah demokrasi totaliter . Demokrasi macam ini mendambakan kehadiran seorang Führer atau sebuah partai yang melaksanakan kehendak seluruh rakyat. Perbedaan pendapat ditindas. Kegiatan oposisi dilarang. Aktivitas intelektual dianggap gerakan pengacau stabilitas. Manusia harus dipaksa untuk mencapai kemakmurannya sendiri.

Bertolak belakang dengan teori tersebut diatas, teori demokrasi persaingan, model Anglo-Saxon justru berangkat dari eksistensi perbedaan interes. Pembentukan pendapat politik dalam masyarakat pluralistik hendaknya dilakukan melalui proses yang transparan. Kompetisi antar kelompok dalam masyarakat heterogen, sah sah saja. Keyakinan bersama (Weltanschauung) tak diperlukan. Karena banyaknya perbedaan pendapat yang ada di masyarakat, munculnya konflik sosialpun sulit dihindari. Sehingga tak ada penyelesaian yang sifatnya absolut (yang paling benar). Prinsip mayoritas (memang) menjadi dasar-dasar pengambilan sebuah keputusan. Namun ini tak boleh menyebabkan adanya tirani mayoritas . Karena dapat mengganggu jalannya aturan main serta melanggar HAM. Disamping itu mayoritas juga bukan berarti bahwa orang boleh berbuat apa saja. Jadi harus ada perlindungan terhadap minoritas, yang tertera dalam undang undang dasar. Wakil wakil yang terpilih (di parlemen) tidak tergantung dari intsruksi. Begitu pula setelah periode legislatur berakhir, mereka dapat dipilih kembali. Oleh sebab itu demokrasi dalam pengertian ini, tidak berarti >>kekuasaan rakyat<<, melainkan kekuasaan atas persetujuan rakyat. Teori ini mengarah kepada sistim perwakilan. (Lihat tabel dihalaman paling belakang)

Dari sudut pandang marxis-leninis, demokrasi terbagi menjadi dua tipologi: demokrasi sosialistik dan demokrasi borjuis . Karena dalam demokrasi sosialistik alat-alat produksi merupakan milik bersama, maka interes pribadi kemudian sama dengan interes negara. Dalam rangka memperkuat dukungan massa untuk menghancurkan kelas penghisap lama, maka pimpinan partai marxis-leninis yang sadar kelas membentuk diktator proletariat . Demokrasi sosialistik adalah demokrasi untuk mencapai tingkatan yang tertinggi. Dan ini dibentuk berdasarkan undang-undang, yang mengawali tercapainya masyarakat tanpa kelas . Seluruh kegiatan sosial dan keharmonisan masyarakat merupakan realitas sosial. Dengan kata lain dalam demokrasi realis semua rakyat diajak, baik dalam proses perencanaan, pengaturan maupun pelaksanaan; yang bertujuan agar kepribadian rakyat dapat berkembang optimal.

Demokrasi borjuis didasarkan pada kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Yang terkonsentrasi di tangan sedikit orang saja. Sehingga ini mengakibatkan ketimpangan sosial. Demokrasi model ini menyelubungi karakter kelas masyarakat kapitalis. Artinya dimana secara formal semua orang diakui mempunyai hak yang sama, sedangkan rakyat secara real tidak memiliki. Krisis sosialpun makin tajam. Demokrasi borjuis dikecam. Kekuasaan kapitalmonopol sangat kuat dan selalu tegar mengahadapi tuntutan kelas buruh. Bahkan hak-hak yang telah diperjuangkan dengan susah payah (kenaikan upah minimum misalnya) malah diinjak injak lagi. Dari situasi seperti ini dapat melahirkan sistim kediktatoran (fasis). Namun ini tidak terjadi (di negara negara penganut demokrasi bourjuis ) karena kelas pekerja dapat mengorganisir serta mewakili interes mereka sendiri. Satu kemajuan.

Parlamentarisme, sepintas memang mengandung banyak arti. Mencakup semua sistim, yang memiliki parlemen - terlepas dari posisi dan fungsi parlemen bersangkutan. Jerman dibawah Hitler misalnya, Sovyet dibawah Stalin, Spanyol dibawah Franco atau Rumania di bawah Ceausescu. Negara-negara (demokrasi) barat dan rezim-rezim otoriter negara ketiga juga termasuk katagori yang sama. Akan tetapi, berbicara mengenai parlamentarisme hendaknya kita membatasi diri hanya pada sistim (negara) yang demokratis saja.

(Sistim demokratis) Sistim yang demokratis pertama tama ditandai dengan adanya persaingan politik terbuka. Pemilu yang bebas, umum, rahasia. Partai-partai yang meligitimasi kekuasaan memiliki tujuan (program) yang berbeda beda. Sistim juga memberi kemungkinan bahwa partai berkuasa dapat diganti oleh partai lain. (Kendati partai liberal di Jepang berkuasa sejak 1946 misalnya).

Dengan adanya jaminan atas HAM, hak warga negara dll. sistim dapat memperkecil kekuasaan negara. Sehingga memungkinkan terbentuknya struktur yang pluralistik yang merupakan satu keharusan. Dengan kata lain agar aspirasi rakyat serta perbedaan interes yang ada di masyarakat tertampung kedalam sistim kekuasaan (pemerintahan).

Demokrasi bukan saja berarti keputusan (mayoritas) berada ditangan rakyat. Namun disini juga sudah termasuk konsepsi Rechtsstaat, distribusi kekuasaan, perlindungan minoritas serta usaha untuk mengatasi kesewenang wenangan negara. Artinya secara cukup dini membatasi tingkah laku politik penyelenggara kekuasaan negara.

Keunggulan sistim demokratis yaitu selain mengakui adanya perbedaan pendapat, ia juga menerima nilai-nilai kebersamaan. Sebagai contoh nyata misalnya bahwa sebagian besar kelompok masyarakat tidak pernah mempermasalahkan keberadaan pemerintahan demokratis.

(Sistim totaliter) Totaliterisme dalam hal ini merupakan kebalikan dari sistim demokratis. Sistim totaliter klasik (Nazi-Hitler dan Sovyet-Stalin) terutama ditandai, yakni, oleh satu kenyataan bahwa hanya ada satu partai saja, yang, legitimasinya tidak melalui pemilu. Aspirasi rakyat tidak diterima sebagai kontrol kekuasaan. Sebaliknya. Partai (lewat ideologi) yang justru menganggap sebagai tugas utama untuk membentuk atau memperngaruhi keyakinan rakyat. Weltanschauung partai (mirip agama) mengklaim bahwa hanya ada satu kebenaran didunia. Disamping itu, selalu dikumandangkan lewat propaganda bahwa masyarakat ideal sebagai end-station akan segera tercapai. Ideologi macam ini sebenarnya ingin menguasai dunia. Nazi lewat ideolgi ras Aria, komunisme melaui pembentukan masyarakat tanpa kelas. Rakyat diwajibkan untuk menerima Weltanschauung penguasa. Rakyat tidak boleh mengelak. Tidak ada batas antara kehidupan bermasyarakat dan pribadi. Semua diatur negara. Rakyat dipaksa mendukung Weltanschauung penguasa. Kalau dukungan kendor, penguasa tak segan segan menggunakan kekerasan dengan mesin penindasan; polisi rahasia atau intel, yang sering dibantu para intel tak resmi (pegawai sipil, kolega, tetangga atau bahkan saudara atau partner sendiri). Karena seluruh alat komunikasi massa berada dibawah kontrol elit penguasa (baik zaman Hitler maupun Stalin) maka batas antara pemerintah dan yang diperintah menjadi semakin kabur. Sehingga dirasakan perlu adanya musuh nyata yang dapat dijangkau. Teror lewat aparat kekuasaan pun tak terhindarkan lagi. Maka banyak korban berjatuhan. Tak kurang dari enam juta orang Yahudi mati tersiksa di kamp-kamp konsentrasi NAZI. Begitu pula jutaan manusia diperkirakan yang menjadi korban aksi pembersihan Stalin.

(Sistim otoriter). Satu kemiripan otoriterisme dengan totaliterisme; tidak mengenal sistim pemerintahan yang demokratis. Istilah sistim otoriter sebenarnya juga kurang jelas. Mencakup begitu banyak rezim politik yang berbeda. Yang termasuk sistim otoriter adalah baik diktator militer negara ketiga yang kiri maupun yang kanan, (Pinochet). Tapi Franco juga masuk katagori ini. Pemilu dalam sistim otoriter, dimanipulasi secara terang terangan atau tersembunyi. Namun berbeda dengan sistim totaliter, sistim otoriter tidak memerlukan Weltanschauung tertentu. Kendatipun demikian, mempertahankan serta memantapkan kekuasaan merupakan tema sentral. Pluralitas (baca kebebasan) yang amat terbatas masih ditolerir - selama tidak membahayakan sistim. Mobilisasi massa - sebagai pendukung Weltanschauung penguasa dalam sistim otoriter - kelihatan kurang populer. Bahkan elit penguasa tak segan segan mengakui adanya kebebasan individu, serta pandangan politik yang nyeleneh (keluar jalur), selama ini, tidak mengkritik rezim secara terbuka. Oleh karena Weltanschauung atau ideologi tak jelas, maka peranan partai-pemerintah pun menjadi berkurang. Akan tetapi peranan partai, diambil alih oleh klik-penguasa. Klik oligarkhi berperan sangat dominan dalam suksesi atau waktu pergantian kekuasaan, misalnya. Suksesi tidak dilakukan secara terbuka. Melainkan melalui hubungan-hubungan pribadi, antara sang penguasa, dengan kerabat dekat atau orang kepercayaannya. Dibawah rezim ototriter rakyat - selama dia bukan aktivis anti rezim - tidak merasakan adanya tekanan-tekanan atau teror - kalau dibanding kondisi dibawah rezim-rezim totaliter. Karena, - dalam sistim otoriter - rakyat sudah cukup kalau hanya menyetujui sang penguasa. Akan tetapi, belum tentu berarti bahwa rakyat harus bersungguh sungguh mendukungnya. (Sumber: Informationen zur politischen Bildung, No. 227, 1993; hal. 2-4).

(Demokratisasi institusi dan institutionalisasi demokrasi) Sampai saat ini di Eropa masih banyak orang menggunakan kerangka berpikir lama; fasisme versus komunisme. Anehnya, dari determinan ekonomi, kemudian berubah menjadi determinan kultural. Seperti misalnya muncul masalah perbedaan atara kultur barat (kristen) versus non barat atau islam. Atau kita ambil contoh aktual satu lagi yakni kontradiksi masalah migrasi, yang ada di negara negara Eropa barat; konflik antara penduduk setempat (kulit putih) versus orang asing pendatang baru (migran kulit berwarna). Kalau di negara kita muncul istilah pri atau non-pri misalnya. Berdasarkan Weltbild seperti ini, kayaknya dunia harus selalu nampak antagonistik. Dengan kata lain, harus selalu ada musuh. Kalau tak ada musuh? maka ia harus diciptakan dulu. Dan musuh tak boleh abstrak. Dalam kehidupan sehari hari musuh harus selalu nampak jelas, dapat dilihat, bisa dijangkau, dipegang atau dikemplang. Wah, dalam kamus politik, cara berpikir seperti ini hanya dapat ditemui dalam fasisme. Fasis dalam hal ini, bukan saja berarti, tak demokratis, akantetapi, anti-demokratis. Fasis atau bukan, tak penting. Yang penting adalah bagaimana kita keluar dari kemelut tersebut. Ada problim berarti ada jalan keluarnya.

Dalam negara yang tidak demokratis, cuma ada satu jalan menuju reformasi yakni menggulingkan pemerintahan yang ada, dengan kekerasan. (K.R. Popper). Kemudian menggantikannya, dengan cara, mendirikan tatanan baru, yang demokratis. Para pengkritik demokrasi yakni orang orang yang menggunakan nilai-nilai moral (agama) tertentu, sebenarnya tidak bisa membedakan antara problim personal dan institusional. Adalah tugas kita untuk memperbaiki keadaan. Institusi-institusi demokratis tak bisa memperbaiki diri mereka sendiri. Masalah perubahan, selalu berkaitan dengan masalah person (manusia) dan bukan institusi. Kalau kita memang menghendaki perubahan, maka harus jelas dulu institusi mana sebenarnya yang ingin kita rubah? Dalam masalah politik kita kenal adanya perbedaan yang mirip dengan masalah perbedaan antara person dan intstitusi yakni perbedaan antara problim sehari hari dan problim masa depan. Problim sehari hari sebagian besar merupakan masalah harkat manusia (person). Problim masa depan, sebaliknya, harus diatur secara institusional. Masalah ini dapat kita sederhanakan menjadi sebuah pertanyaan; Siapa sebaiknya yang memerintah?

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Sebenarnya saya kurang tertarik masalah sejarah masa kini dengan segala bnetuk sistemnya tapi hal itu menarik juga untuk dibaca, saya lebih suka belajar masalah sejarah masa lalu seperti kerajaan-kerajaan yang timbul tenggelam di nusantara ini.

Anonim mengatakan...

Sebenarnya saya kurang tertarik masalah sejarah masa kini dengan segala bnetuk sistemnya tapi hal itu menarik juga untuk dibaca, saya lebih suka belajar masalah sejarah masa lalu seperti kerajaan-kerajaan yang timbul tenggelam di nusantara ini.

wawan mengatakan...

Sebenarnya saya kurang tertarik masalah sejarah masa kini dengan segala bnetuk sistemnya tapi hal itu menarik juga untuk dibaca, saya lebih suka belajar masalah sejarah masa lalu seperti kerajaan-kerajaan yang timbul tenggelam di nusantara ini.