Senin, 22 Februari 2010

Candi Sukuh - Candi "Porno" ala Indonesia


Belum banyak wisatawan menyadari, bahwa Candi Sukuh yang terletak di lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, sesungguhnya merupakan candi paling menarik di Jawa. Bukan cuma bangunan-bangunan fisiknya yang mengentalkan hal itu. Namun suasana alam yang berkabut tebal serta hawa dingin menusuk tulang yang selalu tersaji saban hari, sering kali menebar nuansa mesum.
“Pikiran-pikiran kita langsung ngeres apabila sudah memasuki kawasan ini,” tutur Stefy Thenu, seorang sahabat wartawan Suara Pembaruan di Semarang, sambil berkelakar.
Apa yang dilontarkan teman asal Ambon tersebut memang tidak berlebihan. Selain menampilkan ornamen orang bersenggama secara vulgar, di lantai pelataran Candi Sukuh juga terpampang jelas relief yang menggambarkan secara utuh alat kelamin pria yang sedang ereksi, berhadap-hadapan langsung dengan vagina.


“Lantaran situasinya seperti itu, masyarakat setempat kadang menyebut Candi Sukuh sebagai Candi Rusuh (saru atau tabu),” kata Stefy yang mengaku sudah sangat lama mendalami budaya Jawa.
Memahami Candi Sukuh secara utuh memang tidak cukup melihat kulitnya saja. Kita harus berani masuk hingga ke relung paling dalam. Tapi sanggupkah kita menyibak kesakralan candi paling erotis tersebut, agar kita bisa bermimpi tentang surga di sana?
Menurut sejarah, Candi Sukuh yang berada di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, itu dibangun pada sekitar abad ke-15 oleh masyarakat Hindu Tantrayana. Dalam catatan sejarah, candi ini merupakan candi termuda dalam sejarah pembangunan candi di Bumi Nusantara. Candi ini dibangun pada masa akhir runtuhnya Kerajaan Majapahit yang berpaham Hindu. Para pengikut setia Majapahit yang melarikan diri ke lereng Gunung Lawu, lantas membangun candi ini, setelah kerajaan mereka runtuh diserang Kerajaan Demak yang berpaham Islam.
Kompleks situs purbakala Candi Sukuh berada di ketinggian 910 meter diatas permukaan laut. Berhawa sejuk dengan panorama indah, candi ini mudah dicapai dengan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat, karena hanya berjarak sekitar 27 km dari pusat kota Karanganyar.
Memasuki kompleks candi, kita akan bertemu dengan trap pertama yang pintu masuknya melalui sebuah gapura. Pada sisi gapura sebelah utara terdapat relief `manusia ditelan raksasa` yakni sebuah `sengkalan rumit` (candrasengkala) yang bisa dibaca `Gapura (9) buta (5) mangan (3) wong (1)` atau gapura raksasa memakan manusia, yang merujuk sebuah tahun yakni 1359 Saka, atau tahun 1437 Masehi, tahun dimana pembangunan gapura pertama selesai.
Di sisi selatan gapura juga terdapat relief raksasa yang berlari sambil menggigit ekor ular. Menurut candrasengkalanya berbunyi `Gapura buta anahut buntut` (gapura raksasa menggigit ekor ular), yang merujuk pula tahun 1359 Saka atau 1437 Masehi.
Saat wisatawan menaiki anak tangga dalam lorong gapura, akan disuguhi relief yang sangat vulgar terpahat di lantai. Relief ini menggambarkan phallus yang berhadapan dengan vagina. Inilah yang kemudian menjadi trademark dari popularitas Candi Sukuh. Konon, laki-laki yang ingin menguji apakah kekasihnya masih perawan atau tidak, dapat datang ke tempat ini, dengan cara meminta si wanita melompati relief tersebut.
Konon dulu, seorang suami yang ingin menguji kesetiaan istrinya, dia akan meminta sang istri melangkahi relief ini. Jika kain kebaya yang dikenakannya robek, maka dia tipe isteri setia. Tapi sebaliknya, jika kainnya hanya terlepas, sang isteri diyakini telah berselingkuh.
Dalam perkembangannya sekarang, cukup banyak anak-anak usia ABG yang datang ke sini berhasrat mengikuti tradisi dan kepercayaan para leluhur tadi. Tapi, karena malu, kurang percaya diri, serta takut kalau-kalau benar terjadi pada diri mereka, maka niat coba-coba itu sering tidak dilaksanakan.
Meskipun memberi kesan porno, relief tersebut sesungguhnya mengandung makna yang mendalam. Relief tersebut sengaja dipahat di lantai pintu masuk dengan maksud agar siapa saja yang melangkahi relief itu segala kotoran yang melekat di badan menjadi sirna sebab sudah terkena `suwuk`. Relief ini mirip lingga-yoni, lambang kesuburan dalam agama Hindu yang melambangkan Dewa Syiwa dengan istrinya, Parwati.
Trap kedua lebih tinggi ketimbang trap pertama dengan pelataran yang lebih luas. Gapura kedua ini sudah rusak, dijaga sepasang arca dengan wajah kosmis. Garapannya kasar dan kaku, mirip arca jaman prasejarah di Pasemah. Pada latar pojok belakang dapat dijumpai seperti jejeran tiga tembok dengan pahatan-pahatan relief, yang disebut relief Pande Besi.
Relief sebelah selatan menggambarkan seorang wanita berdiri di depan tungku pemanas besi, kedua tangannya memegang tangkai `ububan` (peralatan mengisi udara pada pande besi). Boleh jadi dimaksudkan agar api tungku tetap menyala. Ini menggambarkan berbagai peristiwa sosial yang menonjol pada saat pembangunan candi ini.
Di bagian tengah terdapat relief yang menggambarkan Ganesya dengan tangan memegang ekor. Sengkalan rumit ini dapat dibaca `Gajah Wiku Anahut Buntut`, merujuk tahun 1378 Saka atau tahun 1496 Masehi. Relief pada sebelah utara menggambarkan seorang laki-laki sedang duduk dengan kaki selonjor. Di depannya tergolek senjata-senjata tajam seperti keris, tumbak dan pisau.
Sedangkan trap ketiga merupakan trap tertinggi atau sering disebut sebagai trap paling suci. Trap ini melambangkan kehidupan manusia setelah mati, dimana jiwa dan roh manusia terangkat ke nirwana (surga). Konon, mereka yang punya beban hidup berat akan terlepas jika melakukan permohonan di puncak trap ketiga ini. Sebaliknya, segala permohonan yang diminta dengan niat tulus dan hati bersih juga akan terkabul.

Berbeda dengan candi-candi di Jawa Tengah pada umumnya, Candi Sukuh disebut telah menyalahi pola dari buku arsitektur Hindu Wastu Widya, yang menjelaskan bahwa bentuk candi harus bujur sangkar dengan pusat persis di tengah-tengahnya. Bagian tengah itu dipercaya sebagai tempat yang paling suci.
Penyimpangan itu terjadi karena saat Candi Sukuh dibangun, era kejayaan Hindu sudah memudar, dan mengalami pasang surut. Sehingga kebudayaan asli Indonesia terangkat ke permukaan lagi, yaitu kebudayaan prasejarah zaman Megalitikum. Dengan demikian, budaya asli bangsa Indonesia tersebut ikut mewarnai dan memberi ciri pada candi tersebut.
Seperti halnya trap pertama dan kedua, pelataran trap ketiga ini juga dibagi dua oleh jalan setapak yang terbuat dari batu. Di sebelah selatan jalan batu, pada pelataran terdapat fragmen batu yang melukiskan cerita Sudamala. Sudamala adalah salah satu dari lima ksatria Pandawa (Pandawa Lima) atau yang dikenal dengan Sadewa. Disebut Sudamala, sebab Sadewa telah berhasil `ngruwat` Bathari Durga yang mendapat kutukan dari Batara Guru akibat perselingkuhannya.
Sadewa berhasil `ngruwat` Bethari Durga yang semula raksasa betina bernama Durga atau Sang Hyang Pramoni kembali ke wajahnya aslinya sebagai seorang bidadari.di kayangan dengan nama Bethari Uma Sudamala maknanya ialah yang telah berhasil membebaskan kutukan atau yang telah berhasil `ngruwat`. Adapun Cerita Sudamala diambil dari buku Kidung Sudamala.
Di tempat ini juga dapat ditemui arca setinggi 85 cm, luasnya sekitar 96 meter persegi, serta obelisk yang menyiratkan cerita Garudeya, yakni cerita tentang Garuda mempunyai ibu bernama Winata yang menjadi budak salah seorang madunya bernama Dewi Kadru.
Dewi Winata menjadi budak Kadru karena kalah bertaruh tentang warna ekor kuda Uchaiswara. Dewi Kadru menang dalam bertaruh sebab dengan curang dia menyuruh anak-anaknya yang berujud ular naga berjumlah seribu menyemburkan bisa-bisanya (racun) di ekor kuda Uchaiswara sehingga warna ekor kuda berubah hitam. Dewi Winata dapat diruwat sang Garuda dengan cara memohon “tirta amerta” (air kehidupan) kepada para dewa.
Sebelah selatan jalan batu ada terdapat candi kecil, yang di dalamnya ada arca dengan ukuran kecil pula. Menurut mitologi setempat, candi kecil itu merupakan kediaman Kyai Sukuh, penguasa gaib kompleks candi tersebut .
Di dekat candi kecil terdapat tiga arca kura-kura yang cukup besar sebagai lambang dari dunia bawah yakni dasar gunung Mahameru, juga berkaitan dengan kisah suci agama Hindhu yakni `samudra samtana` yaitu ketika dewa Wisnu menjelma sebagai kura-kura raksasa untuk membantu para dewa-dewa lain mencari air kehidupan (tirta prewita sari).
Ada juga arca garuda dua buah berdiri dengan sayap membentang. Salah satu arca garuda itu ada prasasti menandai tahun saka 1363. Juga terdapat prasasti yang diukir di punggung relief sapi yang menyiratkan bahwa Candi Sukuh adalah candi untuk pengruwatan.
Dengan bukti-bukti relief cerita Sudamala, Garudeya serta prasasti-prasasti, maka dapat dipastikan Candi Sukuh pada zamannya adalah tempat suci untuk melangsungkan upacara-upacara besar (ritus) ruwatan.
Sedangkan ditilik dari bentuk candi yang mirip dengan “punden berundak”, candi ini ditujukan sebagai tempat pemujaan roh-roh leluhur. Tradisi `ruwatan` juga masih dipelihara dengan baik oleh masyarakat penganut Hindu yang berdiam di sekitar kawasan candi sampai sekarang.

Tidak ada komentar: