Selasa, 23 Februari 2010

Relativisme Sejarah: Bukan Harga Mati


Moral dan keyakinan merupakan hasil dari ruang dan waktu tertentu, dan karenanya tidak ada yang bisa disebut “benar” atau “salah”
Sebuah ungkapan yang hampir mirip dengan obyektifitas dan subyektifitas dalam sejarah. Sudah sejak lama disiplin ilmu sejarah dipertanyakan tingkat keabsahannya. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena peristiwa sejarah bersifat einmaligh, dan peristiwa tersebut tidak dapat direkonstruksi secara benar-benar serupa dengan peristiwa yang sebenarnya terjadi. Banyak faktor yang memengaruhi sebuah peristiwa tidak dapat direkonstruksi sesuai dengan yang asli. Faktor waktu, tempat, keadaan, lingkungan dan segudang faktor yang lainnya adalah hal-hal yang membuat mengapa sebuah peristiwa sejarah tidak dapat diulang sama persis dengan yang aslinya
Esensi ‘benar” dan “salah” bukan harga mati, karena “benar” dan “salah” bukan tujuan utama penulisan sejarah. Sejarah hanya berusaha merekonstruksi sebuah peristiwa mendekati semaksimal mungkin dengan peristiwa yang terjadi. Perkara “benar” dan “salah” tergantung dari subyektifitas pembaca atau penikmat karya sejarah tersebut. Sudut pandang pembaca atau penikmat adalah faktor utama yang membuat pengkategorian karya tersebut “benar” atau “salah”. Penempatan sudut pandang dalam menilai suatu peristiwa inilah yang membuat banyak ungkapan tentang esensi “benar” dan “salah.

Seperti kasus subyektifitas berikut: [Jika] s dan s’ mempunyai makna yang sama, maka apapun kondisi –kondisi yang membuat benar akan [selalu] membuat s’ benar. Sehingga tidak mengejutkan bahwa relativis cenderung untuk mengutamakan konsepsi-konsepsi holistic tentang kebenaran dan bermakna, yang membuat bagian semantik utama sesuatu yang lebih rumit daripada kalimat. Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai relativis seseorang dengan orang lain akan berbeda. Hal ini terkait erat dengan unsur subyektifitas seperti yang tertera di atas. Tidak ada yang bisa menggugat ego seseorang. Ego yang timbul akan senantiasa mati-matian dipertahankan oleh orang yang melontarkan ego tersebut. Walaupun banyak orang berkilah akan tingkat kebesaran hatinya dalam menerima perbedaan atau kritikan, tetapi ego yang telah bermain di dalamnya walau kadang dipungkiri tapi tetap akan dipertahankan dan senantiasa bermain di dalamnya (dalam upaya mempertahankan argumen).
Unsur “benar’ dan “salah” dalam sejarah, bukan perkara “hitam” dan “putih” saja, tetapi lebih luas dari itu. Bagaimana cara menganalisa sebuah persoalan, minimal mendekati dengan pendekatan yang maksimal terhadap sebuah persoalan. Dalam pendekatannya, seorang sejarawan (dalam usaha penulisannya) akan berbenturan dengan berbagai kepentingannya. Pemihakan pribadi (personal bias), yaitu persoalan suka atau tidak suka pribadi terhadap individu atau golongan dari seseorang, prasangka kelompok (group prejudice) yaitu menyangkut keanggotaan sejarawan dalam suatu kelompok apakah itu bangsa, ras, kelompok sosial, atau agama tertentu, teori-teori penafsiran sejarah yang berbeda (Conflicting theories of historical interpretation) yaitu perbedaan penafsiran teori, misal sejarawan Marxis akan menulis berdasarkan teori determinisme ekonomi, konflik-konflik filsafat yang mendasar (underlying philosophical conflicts) yaitu kepercayaan moral atau pandangan hidup seseorang. Unsur-unsur seperti yang tertera diataslah yang menyebabkan penulisan sejarah tidak se-simple “hitam” dan “putih” saja atau “benar” dan “salah”.

Tidak ada komentar: