Kata Siapa Sejarah Itu Biasa Dengan Mengunjungi Blog ini Maka Sejarah Akan Menjadi Bermakna
Senin, 22 Februari 2010
Dalam Sarekat Islam Ada Sarekat Rakyat (SI Merah)
Pada tahun 1909, seorang lulusan OSVIA bernama Tirtoadisurjo (1880-1918), yang telah meninggalkan dinas pemerintahan dan menjadi wartawan, mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) di Batavia. Pada tahun 1910, dia mendirikan organisasi semacam itu di Buitenzorg. Berdirinya SDI dimaksudkan membantu pedagang-pedagang bumi putera yang mayoritas beragama Islam dan tidak memiliki “interest” kepada politik.
Tahun 1911 Tirtoadisurjo mendorong seorang pedagang batik yang berhasil di Surakarta bernama Samanhudi (1868-1956) untuk mendirikan SDI sebagai koperasi pedagang batik Jawa. Cabang-cabang lainnya segera didirikan. Di Surabaya, H.O.S. Tjokroaminoto (1882-1934) menjadi pimpinan organisasi itu.
Seperti halnya Tirtoadisurjo, H.O.S. Tjokroaminoto adalah seorang lulusan OSVIA yang juga telah mengundurkan diri dari dinas pemerintahan. Dia merupakan tokoh yang memiliki karisma dan terkenal sikapnya yang memusuhi orang-orang yang memegang kekuasaan baik berkebangasaan Belanda maupun bumi putera. Karena itu dia dengan cepat menjadi pemimpin yang paling terkemuka dari gerakan rakyat yang pertama itu.
Dan ketika nama SDI berubah menjadi Sarekat Islam (SI) pada tahun 1912, H.O.S. Tjokroaminoto menjadi pucuk pimpinannya. Dan semenjak itulah SI menjadi organisasi yang berkembang pesat dari sisi jumlah anggotanya. Pada tahun 1919 tercatat SI memiliki 2 juta anggota di Jawa dan di luar Jawa. Hal ini berbeda dengan Budi Utomo yang membatasi keanggotan hanya sebatas orang Jawa.
Ketika SI berkembang pesat terutama di pedesaan, SI menjadi suatu organisasi perlawanan terhadap struktur kekuasaan lokal yang monolitis seperti priyayi, kaum Tionghoa dan pejabat Hindia Belanda. Oleh karena itu organisasi tersebut menjadi lambang solidaritas kelompok yang dipersatukan.
Persentuhan SI dengan faham komunis kurang lebih terjadi ketika seorang anggota SI cabang Surabaya, yaitu Semaoen pindah ke Semarang pada tahun 1915 dan kemudian aktif di dalam Serikat Buruh Kereta Api dan Term (VSTP). Sneevliet, seorang Belanda penganut mistik yang berideologi marxisme, rupanya juga aktif disana.
Dan juga sebagaimana diketahui, Sneevliet adalah pendiri Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV), suatu partai yang beraliran “kiri” di Surabaya pada tahun 1914. Perjumpaannya dengan Sneevliet ini kemudian membawa Semaoen masuk ke dalam ISDV.
Di bawah pengaruh Semaoen, SI cabang Semarang yang berjumlah hampir 20.000 anggota, mengambil garis anti kapitalis yang kuat. Cabang ini menentang keanggotaan SI di dalam Volksraad dan menyerang kepemimpinan CSI (Central Sarekat Islam).
Garis revolusioner yang dibawa oleh Semaoen berkembang menjadi mata rantai yang tak terhentikan. Sebagai contoh lain, di Jawa Barat, suatu cabang revolusioner rahasia yang diberi nama “Afdeeling B” (Seksi B) didirikan oleh Sasrokardono dari CSI pada tahun 1917. Bahkan pada awal tahun 1919 terjadi kekacauan-kekacauan di Surakarta yang dipimpin oleh seorang Haji yang bernama Misbach yang khotbahnya berisi doktrin mengenai bahwa Islam dan komunisme adalah hal yang sama. Hal ini kemudian menjadikan dirinya dikenal sebagai Haji Merah.
Pada saat-saat itu kedudukan Tjokroaminoto sebagai ketua SI sangat sulit, ia mengalami situasi yang dilematis, apakah mempertahankan SI sebagai organisasi bernafaskan Islam ataukah menerima Marxisme sebagai ideologi partai. Akhirnya ia bersikap kompromis, dia menerima doktrin sosial Marxisme walaupun dengan kualifikasi yang cukup lemah. Vlekke (2008) sendiri menyebutkan saat itu Tjokroaminoto sebagai seorang yang peragu dan goyah.
Pada bulan Mei 1920, ISDV berganti nama menjadi Perserikatan Komunis di India (PKI)
Dan pada bulan November 1920, SI dan PKI terlibat pertikaian terbuka dan tidak terdamaikan ketika surat kabar PKI berbahasa Belanda, “Het Vrije Woord”, menerbitkan tesis-tesis Lenin tentang masalah-masalah nasional dan penjajahan, yang berisi kecaman-kecaman terhadap Pan-Islamisme. SI yang pada saat itu memiliki orang-orang seperti Haji Agus Salim (1884-1954), mantan konsulat Belanda di Jeddah, yang menjadikan Pan-Islamisme dan modernisme sebagai dasar menjalankan kegiatan politik, membawa SI menerapkan “disiplin partai” yang disetujui pada kongres SI bulan Oktober tahun 1921.
Dengan adanya “disiplin partai”, maka seorang anggota SI tidak mungkin lagi menjadi anggota partai lain. Anggota-anggota PKI kini dikeluarkan dari SI, tetapi pertikaian tetap harus diselesaikan di setiap cabang SI. Sebagai akibatnya, SI terpecah menjadi dua yaitu “SI Putih” dan “SI Merah”. Tan Malaka sendiri pernah melakuan beberapa usaha untuk memulihkan kerjasama atara SI dengan PKI, namun usaha itu menemui jalan buntu.
Dengan melemparkan mereka (barisan komunis) keluar dari organisasi utama, jumlah mereka yang kecil akan terlihat dan prestise mereka dihancurkan. Dengan cepat PKI membalas dengan menuduh SI sebagai lembaga “kapitalis”, dengan mengejek gagasan kapitalisme yang “penuh dosa”. Haji Agus Salim bersama Abdul Muis dengan tegar menghadapi ejekan kaum komunis tersebut. (Vlekke, 2008)
Tahun 1921 Tjokroaminoto ditangkap oleh pemerintah Belanda dengan tuduhan persaksian palsu. Ketika ia dibebaskan pada bulan Mei 1922, ia mendapatkan organisasi yang ia besarkan telah tercerai berai dan pada saat yang sama dia juga mendapatkan Semaoen berusaha memberikan pengaruh PKI pada cabang-cabang dan sekolah-sekolah SI. Semenjak itulah Tjokroaminoto bertekad melepaskan diri selama-lamanya dengan PKI (Ricklefs, 2008).
Dalam kongres SI pada bulan Februari 1923 dia mendirikan Partai Sarekat Islam (PSI) yang memiliki “disiplin partai”. Ia bertekad akan mendirikan cabang-cabang partai ini dimana saja yang ada cabang “SI Merah”nya.
Cabang-cabang “SI Merah” kemudian berubah menjadi “Sarekat Rakyat”.
Pustaka :
(1) Nusantara. Bernard H.M. Vlekke. Kepustakaan Populer Gramedia. 2008.
(2) Sejarah Modern Indonesia. M.C. Ricklefs. Serambi. 2008.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar