Selasa, 23 Februari 2010

Perang Paregreg Dalam Sejarah Indonesia


Majapahit dianggap kerajaan di Indonesia yang mempunyai wilayah kekuasaan paling luas, mempunyai pengaruh sampai di luar negeri, dan memiliki angkatan perang yang disegani oleh negara lain. Kerajaan ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari kerajaan Singasari. Namun usia Majapahit sebagai kerajaan besar tidaklah terlalu lama, yakni hanya sekitar satu abad. Tahun 1500 secara riel kekuasaan Majapahit lenyap sama sekali, yang ditandai dengan sengkolo Sirno Ilang Kertaning Bumi.
Runtuhnya kerajaan Majapahit disebabkan oleh perang saudara yang terkenal dengan istilah Perang Paregreg. Perang ini sebenarnya berawal dari lemahnya raja yang sedang berkuasa. Kejayaan Majapahit ditopang oleh keperkasaan sang Mahapatih Gadjah Mada, yang pernah menyelamatkan Prabu Jayanegara, raja kedua, dari rongrongan peberontak.

Jadi sejak itu sebenarnya benih pemberontakan telah tumbuh di kalangan pejabat sekitar istana. Setelah pemberontakan selesai dipadamkan, Gadjah Mada berhasil membangun angkatan perang yang tangguh, termasuk angkatan lautnya. Oleh karena itu segera Majapahit berkembang menjadi negara yang makmur, karena teknologi pertanian sawah di kalangan masyarakat Jawa telah berkembang sejak sebelum kedatangan Aji Saka pada tahun 68 Masehi. Tetapi setelah Hayam Wuruk, Majapahit tidak pernah memiliki raja yang powerfull, dan akhirnya runtuh karena perang saudara tersebut.
Perang Paregreg diawali dengan pemberontakan Bhre Wirabumi atau Urubisma, Adipati Blambangan, yang masih putera Prabu Brawijaya dari selir. Pemberontakan Urubisma ini melahirkan legenda Damarwulan yang sangat terkenal sebagai salah satu lakon kethoprak yang populer. Walaupun Urubisma tidak berhasil menegakkan panji kerajaan di Kadipatennya, namun setelah itu disusul pemberontakan oleh Adipati yang lain. Karena tentara dan dana kerajaan banyak tersedot untuk memadamkan pemberontakan-pemberontakan, maka akhirnya raja-raja di luar Jawa dengan mudah lalu memisahkan dari ketergantungan terhadap Majapahit. Terjadilah dis-integrasi.
Merosotnya kekuasaan penguasa Majapahit yang diikuti dengan menurunnya kesejahteraan dan moral tentara, di lain fihak telah menaikkan pamor para juru dakwah agama Islam yang dipimpin oleh Sunan Giri. Konon Sunan Giri inilah yang menciptakan keris Kolomunyeng yang baru saja dihadiahkan oleh Kiai Langitan kepada Presiden Gus Dur untuk menangkal kejahatan. Namun akhirnya, dengan berbekal ayat-ayat Al Qur’an, Sunan Giri dan barisannya malah berhasil menampilkan Raden Patah, putera selir Prabu Brawaijaya dari isteri puteri Champa, menjadi Sultan di Demak Bintoro yang sebelumnya bernama Glagah Wangi. Tetapi pada waktu itu Majapahit sudah tidak diperintah oleh raja keturunan Singasari, melainkan telah direbut oleh Adipati Kediri Girindrawardana, keturunan Jayaketawang yang dulu dihancurkan oleh panglima perang Singasari pendiri kerajaan Majapahit, Raden Wijaya. Munculnya kesultanan Demak disambut gembira oleh masyarakat luas, karena Raden Patah berhasil meletakkan dasar-dasar paradigma baru, reformasi terhadap paradigma lama yang mengungkung rakyat dalam kekalutan dan kesemrawutan selama berpuluh tahun.
Kisah berakhirnya kerajaan besar Majapahit beserta Perang Paregregnya itu asyik untuk diceritakan dan menjadi teladan bukan saja pada bidang politik dan pemerintahan. Situasi di Perum Perhutani saat ini pun mirip dengan itu. Sekarang di Perum Perhutani juga sedang terjadi perang saudara yang cukup seru, Perang Paregreg, dan belum berakhir sampai awal tahun 2001 ini. Perum Perhutani dibentuk oleh pemerintah untuk mengelola hutan jati di pulau Jawa. Kayu jati dari hutan alam di pulau yang dulu merupakan penghasil juwawut itu telah lama sekali dinikmati oleh masyarakat, pemerintah maupun pengusaha sejak abad ke-10. Pada waktu bangsa Belanda dengan VOC-nya sedang berjaya, hutan jati yang pada saat itu luasnya 650.000 ha tersebut hampir saja hancur lebur. Untung saja VOC bangkrut dan kerajaan Belanda mengambil alih semua aset VOC, termasuk pemerintahan kepulauan Nusantara. Pemerintah Hindia Belanda berhasil membangun kembali hutan jati yang porak-poranda itu, sehingga kemudian pada tahun 1890 dibentuk BUMN, Djatbiedrijfs, untuk memajukan pengelolaan hutan jati. Keberhasilan pengelolaan hutan jati di bawah Djatibedrijfs tersebut luar biasa, mirip dengan kejayaan Majapahit. Di bawah Djatibedrijfs dapat dibangun hutan tanaman yang bagus dengan sistem tumpangsari yang diketemukan oleh Buurman tahun 1873. Luas hutan jati bertambah menjadi satu juta hektar. Karena bagusnya kondisi hutan jati, maka penebangan besar-besaran yang dilakukan Jepang selama tiga tahun tidak berpengaruh. Demikian pula penebangan-penebangan liar selama perang kemerdekaan dan pra Gestapu PKI, belum menurunkan secara mencolok kualitas hutan tanaman yang nilai kayunya tinggi itu.
Akan tetapi sejak surutnya Djatibedrijfs dan Boschwezen, tidak pernah ada pengelolaan hutan di Jawa yang dapat dibanggakan. Djatibedrijfs dan Boschwezen, ibarat Gadjah Mada dengan Hayam Wuruk untuk kerajaan Majapahit. Sejak ditangani oleh PN Perhutani dari tahun 1963, yang pada tahun 1972 statusnya berubah menjadi Perum Perhutani, kualitas hutan jati di Jawa terus merosot. Keuntungan perusahaan yang dilaporkan memang naik setiap tahun, tetapi itu hanya manipulasi perhitungan di atas kertas yang menjadi permainan Direksi saja. Di samping kualitas hutannya merosot, di lain fihak konflik dengan masyarakat semakin eskalatif. Dengan reformasi, rakyat di sekitar hutan tidak lagi merasa takut dengan Polhutnya Perhutani dan terjadilah penjarahan yang sampai sekarang belum berkurang. Ratusan juta rupiah yang dikeluarkan untuk membayar polisi juga tidak meredakan penjarahan. Sepertinya rakyat di sekitar hutan sedang melihat prajurit Majapahit yang disersi dan bahkan ada yang bergabung dengan perampok, contohnya Pecut Penjalin, karena tidak lagi menerima gajih dari Trowulan.
Nampaknya karena bosan atau tidak mampu menangani penjarahan, Direksi yang baru lantas menangani sesuatu yang mudah dilaksanakan. Dilakukanlah Operasi Damai yang tidak damai, malah penuh intrik dan jopa-japu karena ditolong oleh seorang dukun tiban. Operasi jopa-japu dan dukun tiban itu telah menyulut semangat pengikut idealisme Djatibedrijfs, mirip Adipati Urubisma, untuk mendorong kembali semaraknya butir-butir reformasi yang telah dilupakan. Itulah awal Perang Paregreg di Perum Perhutani. Mungkin Perang Paregreg di Perhutani baru akan berakhir setelah Raden Patah datang dengan semangat reformasinya, atau Perum Perhutani akan tenggelam diterjang gelombang pasang yang terus datang bertubi-tubi. Kalau itu yang terjadi, maka hutan jati di Jawa akan lenyap dari permukaan bumi, banjir dan tanah longsor akan terjadi silih berganti dengan kekeringan dan kebakaran hutan. Menangislah Mollier, Buurman dan Bruinsma, para pendekar pembangun hutan tanaman jati, menyaksikan dari akhirat hasil karynya lebur tanpo dadi.

4 komentar:

Unknown mengatakan...

HebaT....analisa yg sangat komprehensive.
Boleh tuh jadi pengarang

Aries mengatakan...

thanks udah berkunjung di blog saya...

arek gontor mengatakan...

suwon...

BELAJAR BAHASA mengatakan...

Perang Paregreg yang terjadi di Majapahit sangat memporak porandakan kerajaan